book-open1Bilangan prima adalah bilangan bulat positif lebih
dari 1 dan hanya mempunyai dua pembagi, yaitu 1 dan bilangan tersebut. Sebagai
contoh, 19 adalah bilangan prima karena 19 hanya habis dibagi oleh 19 dan 1.
Hampir semua bilangan prima adalah bilangan ganjil dan angka 2 merupakan
satu-satunya bilangan prima genap. Dari definisi di atas, angka 1 tidak
termasuk dalam bilangan prima, tetapi beberapa matematikawan pada abad XIX
beranggapan bahwa angka 1 termasuk dalam himpunan bilangan prima yang akan dijelaskan
lebih lanjut pada bab Sejarah Bilangan Prima. Bilangan-bilangan selain bilangan
prima disebut bilangan komposit. Contohnya, 55 adalah bilangan komposit karena
55 habis dibagi 1, 5, 11, dan 55.Sampai saat ini, belum ditemukan pola yang
pasti dalam distribusi bilangan prima sehingga cukup sulit untuk menemukan
sebuah ataupun beberapa bilangan prima dalam suatu rentang. Cara yang paling
mudah adalah menggunakan Sieve of Eratosthenes. Bilangan prima dapat disebut
sebagai batu pembangun bilangan bulat positif. Hal ini dibuktikan dengan suatu
teorema yang disebut Teorema Fundamental Aritmetik.
SEJARAH BILANGAN PRIMA
Sejarah bilangan prima dimulai pada zaman Mesir kuno dengan
ditemukannya sebuah catatan yang menyatakan penggunaan bilangan prima pada zaman
tersebut. Namun, bilangan prima dan bilangan komposit pada zaman ini berbeda
dengan bilangan prima dan bilangan komposit yang dikenal saat ini. Bukti lain
permulaan sejarah bilangan prima adalah sebuah catatan penelitian bilangan
prima oleh bangsa Yunani kuno. Euclid’s
Elements (300 BC) berisi beberapa teorema penting mengenai bilangan prima,
termasuk ketakberhinggan bilangan prima dan teorema fundamental aritmetik.
Euclid juga memperlihatkan bagaimana cara menyusun sebuah bilangan sempurna
(perfect number) dari sebuah bilangan prima Mersenne yang ditemukan kemudian.
Bukti lain adalah Sieve of Eratosthenes, yaitu sebuah cara untuk menghitung
seluruh bilangan prima dalam suatu rentang tertentu.
Pada abad XVII, penelitian terhadap bilangan prima
dilanjutkan kembali setelah berabad-abad berhenti. Pada tahun 1640, Pierre de
Fermat memulainya dengan membuat Teorema Kecil Fermat (Fermat’s Little Theorem) yang nantinya akan dibuktikan oleh
Leibniz dan Euler. Kasus khusus dari teorema ini mungkin telah diketahui oleh
bangsa Cina sebelumnya, namun belum ada bukti yang pasti mengenai hal ini. Lama
setelah itu, Euler menemukan “lubang”pada teorema ini. Sebagai
pengganti, seorang Prancis, Marin Mersenne, membuat suatu bentuk baru dari
bilangan prima yang akhirnya namanya diabadikan menjadi nama bilangan ini,
yaitu bilangan prima Mersenne (Mersenne prime). Cara penentuan inipun belum
sempurna karena terdapat beberapa prima semu diantaranya.
Sampai abad XIX, banyak matematikawan masih beranggapan
bahwa 1 adalah bilangan prima, dengan definisi bilangan prima adalah bilangan
yang habis dibagi satu dan bilangan tersebut tanpa membatasi jumlah pembagi.
Pada abad XIX, Legendre dan Gauss membuat sebuah konjektural untuk menghitung
banyaknya bilangan prima yang kurang dari atau sama dengan suatu bilangan.
Konjektural ini akhirnya dibuktikan pada tahun 1896 dan berganti nama menjadi
Teorema Bilangan Prima (Prime Number Theorem). Sebelumnya, pada tahun 1859,
Riemann mencoba membuktikan konjektural tersebut menggunakan fungsi-zeta. Pencarian
bilangan prima tidak berhenti sampai disitu, khususnya untuk bilangan-bilangan
besar. Banyak matematikawan yang meneliti mengenai tes bilangan prima,
contohnya: Pepin’s test untuk
bilangan Fermat (1877), Lucas-Lehmer test untuk bilangan Mersenne (1856), dan
Lucas-Lehmer test yang digeneralisasikan.
Pada abad XX, penggunaan bilangan prima di luar bidang
matematika mulai dikembangkan. Pada era 1970-an, ketika konsep kriptografi
kunci-publik ditemukan, bilangan prima menjadi salah satu dasar pembuatan kunci
algoritma enkripsi seperti RSA.
menjadi satu atau lebih bilangan prima. Dengan dasar
tersebut, Q dapat difaktorkan menjadi satu atau lebih bilangan prima. Namun,
tidak ada satu pun bilangan prima (yang telah diasumsikan berjumlah berhingga)
yang dapat habis membagi Q karena apapun bilangan primanya, misalkan pj, Q
dibagi pj selalu akan menghasilkan sisa minimal 1. Jadi, terdapat suatu
bilangan prima baru yang tidak termasuk dalam bilangan prima p1, p2, p3, … pn, yaitu Q sendiri bila
prima atau faktor prima dari Q. Kesimpulan ini kontradiktif dengan asumsi
sebelumnya bahwa ada sejumlah berhingga bilangan prima. Oleh karena itu,
bilangan prima berjumlah tak berhingga.
Pencarian Bilangan PrimaSebenarnya Euclid dalam beberapa
definisi dan proposisi buku Elements-nya menaruh perhatian yang sangat besar
akan keberadaan bilangan prima ini. Dalam buku IX Elements, beliau memberikan
bukti tentang ketakberhinggaan banyaknya bilangan-bilangan prima dengan
menggunakan metode kontradiksi, yang dilakukan pertama kali dalam sejarah
matematikan. Selain itu, Euclid juga memberikan sebuah bukti Teorema
Fundamental Aritmetika : “Setiap
bilangan bulat dapat ditulis sebagai hasil kali bilangan-bilangan prima dalam
sebuah bentuk dasar yang unik”. Kemudian
dikenal dengan nama Eratosthenes (±
230 SM) dengan `Eratosthenes sieve` atau saringan Eratosthenes,. Pertama-tama
ia memperkenalkan metode untuk mendapatkan seluruh bilangan prima yang terbatas
hingga suatu bilangan bulat positif n. Dari saringan itu akan didapat
bilangan-bilangan prima yang kurang dari n, bahkan dengan saringan tersebut
diturunkan suatu konjektur dalam bentuk formula yang dapat dipergunakan untuk
memprediksi banyaknya bilangan prima kurang dari suatu bilangan n, yang
dinyatakan dengan √n. Sebagai
contoh diberikan cara mencari bilangan prima kurang dari 50, dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Susun bilangan asli secara berurutan kurang dari 50
2. Hilangkan bilangan 1 karena 1 bukan prima
3. Hilangkan bilangan kelipatan 2, kecuali 2
4. Hilangkan bilangan kelipatan 3, kecuali 3
5. Hilangkan bilangan kelipatan 5, kecuali 5
6. Hilangkan bilangan kelipatan 7, kecuali 7
Realisasi langkah tersebut seperti berikut ini:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50.
Sehingga didapat bilangan prima yang kurang dari 50 adalah
2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 29, 31, 37, 41, 43, 47.
Bilangan Prima dan Rencana Penciptaan
Salah satu teka-teki lama yang belum sepenuhnya terpecahkan
adalah bilangan prima. Bilangan prima adalah bilangan yang hanya dapat habis
dibagi oleh bilangan itu sendiri dan angka 1. Angka 12 bukan merupakan bilangan
prima, karena dapat habis dibagi oleh angka lainnya 2, 3, dan 4. Bilangan prima
adalah 2, 3, 5, 7, 11, 13, …. dan
seterusnya. Banyak bilangan prima tidak terhingga. Tidak peduli berapa banyak
kita menghitung, pasti kita akan menemukan bilangan prima, walaupun mungkin
makin jarang_ Hal ini menjadi teka-teki kita, jika kita ingat bilangan ini
tidak dapat dibagi oleh angka lainnya. Salah satu hal yang menakjubkan, dalam
era komputer kita memberikan kodetifikasi semua hal yang penting dan rahasia,
di bank, asuransi, dan perhitungan-perhitungan peluru kendali, security system
dengan enkripsi, dalam angka jutaan bilangan-bilangan yang tidak habis dibagi
oleh angka lainnya. Ini diperlukan karena dengan penggunaan angka lain,
kodetifikasi tadi dapat dengan mudah ditembus.
Fenomena inilah yang ditemukan ilmuwan dari Duesseldorf (Dr.
Plichta), sehubungan dengan penciptaan alam, yaitu distribusi misterius
bilangan prima. Para ilmuwan sudah lama percaya bahwa bilangan prima adalah
bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua makhluk (spesies)
berintelegensia tinggi, sebagai komunikasi dasar antarmereka. Bahasa ini penuh
misteri karena berhubungan dengan perencanaan universal kosmos.
Bilangan lain yang perlu diketahui adalah sisa dari bilangan
prima, yakni bilangan komposit, kecuali angka 1, yaitu 4, 6, 8, 9,10,12,14,15, …. dan seterusnya. Dengan kata
lain, bilangan komposit adalah bilangan yang terdiri dari minimal dua faktor
prima. Misalnya :
6 = 2 x 3 = 2 . 3
30 = 2 x 3 x 5 = 2 . 3 . 5
85 = 5 x 17 = 5 . 17
Selain itu, dikenal pula bilangan khusus, yang disebut prima
kembar, yaitu bilangan prima yang angkanya berdekatan dengan selisih 2.
Misalnya :
(3,5)
(5,7)
(11,13)
(17,19)
dan seterusnya.
Mayoritas ahli astrofisika juga percaya bahwa di alam
semesta terdapat “kode kosmos” atau yang disebut cosmic code
based on this order, yang dikenal juga sebagai Theory of Everything (TOE), yang
artinya terdapat konstanta-konstanta alam semesta yang saling berhubungan
berdasarkan perintah pendesain. Sekali perintah tersebut dapat dipecahkan, maka
hal ini akan membuka pandangan sains lainnya yang berhubungan.